Jumat, 27 Desember 2013

Budidaya Ikan Lele



Budidaya ikan lele sangat diminati para peternak karena pasarnya yang terus berkembang. Pemerintah juga gencar memberikan dukungan melalui riset benih lele unggul dan kampanye gerakan makan ikan. Sehingga bermunculan sentra-sentra budidaya ikan lele di sejumlah daerah.
Untuk mendapatkan keuntungan maksimal, budidaya ikan lele sebaiknya tidak dilakukan secara sampingan atau sekadar kegiatan subsisten. Ikan lele sanggup hidup dalam kepadatan tebar yang tinggi dan memiliki rasio pemberian pakan berbanding pertumbuhan daging yang baik. Oleh karena itu, usaha budidaya ikan lele akan memberikan keuntungan lebih apabila dilakukan secara intensif.
Terdapat dua segmen usaha budidaya ikan lele, yaitu segmen pembenihan dan segmen pembesaran. Pada kesempatan kali ini kami akan membahas budidaya ikan lele segmen pembesaran. Berikut kami uraikan tahap-tahap persiapannya.

Penyiapan kolam tempat budidaya ikan lele
Ada berbagai macam tipe kolam yang bisa digunakan sebagai tempat budidaya ikan lele. Untuk memutuskan kolam apa yang cocok, harap pertimbangkan kondisi lingkungan dan ketersediaan tenaga kerja terampil. Lalu, cocokkan dengan sumber dana yang kita miliki. Perlu diperhatikan bahwa setiap tipe kolam memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing bila ditinjau dari segi usaha budidaya.
Tipe-tipe kolam yang umum digunakan dalam budidaya ikan lele adalah kolam tanah, kolam semen, kolam terpal, jaring apung dan keramba. Namun dalam artikel ini kita hanya membahas kolam tanah saja, mengingat jenis kolam ini paling banyak digunakan oleh para peternak ikan.

a.      Pengeringan dan pengolahan tanah
Sebelum benih ikan lele ditebarkan, kolam harus dikeringkan telebih dahulu. Lama pegeringan berkisar 3-7 hari atau bergantung pada teriknya sinar matahari. Sebagai patokan, apabila permukaan tanah sudah retak-retak, kolam bisa dianggap sudah cukup kering. Pengeringan kolam bertujuan untuk memutus keberadaan mikroorganisme jahat yang menyebabkan bibit penyakit. Mikroorganisme tersebut bisa bekembang dari sisa-sisa priode budidaya ikan lele sebelumnya. Dengan pengeringan dan penjemuran, sebagian besar mikroorganisme patogen akan mati.

Setelah dikeringkan, permukaan tanah dibajak atau dibalik dengan cangkul. Pembajakan tanah diperlukan untuk memperbaiki kegemburan tanah dan membuang gas beracun yang tertimbun di dalam tanah. Selain penggemburan, lakukan pengangkatan lapisan lumpur hitam berbau busuk yang biasanya terdapat di dasar kolam. Karena lumpur hitam tersebut menyimpan gas-gas beracun seperti amonia dan hidrogen sulfida. Gas-gas itu terbentuk dari tumpukan sisa pakan yang tidak habis pada periode budidaya ikan lele sebelumnya.

b.     Pengapuran dan pemupukan
Pengapuran berfungsi untuk menyeimbangkan keasaman kolam dan membantu memberantas mikroorganisme patogen. Jenis kapur yang digunakan adalah dolomit atau kapur tohor. Pengapuran dilakukan dengan cara ditebar secara merata di atas permukaan dasar kolam. Setelah ditebari kapur, balik tanah dengan cangkul agar kapur meresap ke bagian dalam. Dosis yang diperlukan untuk pengapuran dasar kolam adalah 250-750 gram per meter persegi, atau tergantung pada derajat keasaman tanah. Semakin asam tanah semakin banyak kapur yang dibutuhkan.
Langkah selanjutnya adalah pemupukan. Pupuknya menggunakan paduan pupuk organik, ditambah urea dan TSP. Jenis pupuk organiknya bisa pupuk kandang atau pupuk kompos, dosisnya sebanyak 250-500 gram per meter persegi. Sedangkan dosis pupuk kimianya adalah urea 15 gram per meter persegi dan TSP 10 gram per meter persegi. Pemupukan dasar kolam bertujuan untuk menyediakan nutrisi bagi biota seperti fitoplankton dan cacing. Biota tersebut berguna untuk makanan alami ikan lele.

c.      Pengaturan air kolam
Ketinggian air yang ideal untuk budidaya ikan lele adalah 100-120 cm. Pengisian kolam harus dilakukan secara bertahap. Setelah kolam dipupuk, isi dengan air sampai batas 30-40 cm. Pada ketinggian tersebut sinar matahari masih bisa tembus hingga dasar kolam dan memungkinkan biota dasar kolam seperti fitoplankton tumbuh dengan baik. Kolam yang sudah ditumbuhi fitoplankton airnya akan berwarna kehijauan. Setelah satu minggu, baru benih ikan lele siap ditebar. Selanjutnya, air kolam ditambah secara berkala sesuai dengan pertumbuhan ikan lele sampai pada ketinggian ideal.



Pemilihan benih ikan lele
Tingkat kesuksesan budidaya ikan lele sangat ditentukan oleh kualitas benih yang ditebar. Benih yang akan digunakan dalam budidaya ikan lele hendaklah dari jenis benih unggul. Ada beberapa jenis ikan lele yang biasa dibudidayakan di Indonesia. Silahkan baca lebih lanjut mengenai jenis-jenis ikan lelebudidaya. Dalam artikel ini kami merekomendasikan jenis ikan lele Sangkuriang yang dikembangkan BBPBAT Sukabumi. Alasannya, ikan lele sangkuriang merupakan hasil perbaikan dari lele dumbo. Dimana kualitas dari lele dumbo yang saat ini beredar di masyarakat semakin menurun dari waktu ke waktu.
Benih ikan lele bisa kita dapatkan dengan cara membeli atau melakukan pembenihan ikan lele sendiri. Untuk membuat pembenihan sendiri silahkan baca cara pembenihan ikan lele dan teknik pemijahan ikan lele. Hal yang paling penting adalah benih unggul yang digunakan harus benih yang baik dan sehat.
a.      Syarat benih unggul
Benih yang ditebar harus benih yang benar-benar sehat. Benih yang kualitasnya buruk tidak bisa menghasilkan dengan maksimal dan rentan terhadap serangan penyakit. Ciri-ciri benih yang sehat gerakannya lincah, tidak terdapat cacat atau luka dipermukaan tubuhnya, bebas dari bibit penyakit dan gerakan renangnya normal. Untuk menguji gerakan renangnya, coba tempatkan ikan pada arus air, jika ikan tersebut menantang arah arus air berarti gerakan renangnya normal.
Ukuran benih untuk budidaya ikan lele sebaiknya memiliki panjang sekitar 5-7 cm. Usahakan ukurannya rata agar ikan bisa tumbuh dan berkembang serempak. Dari benih sebesar itu, dalam jangka waktu pemeliharaan 2,5-3,5 bulan akan didapatkan lele ukuran konsumsi sebesar 9-12 ekor per kilogram.
b.      Cara menebar benih
Sebelum benih ditebar, lakukan penyesuaian iklim terhadap benih. Caranya, masukan benih yang baru datang dengan wadahnya (ember/jeriken) ke dalam kolam. Biarkan selama 15 menit agar terjadi penyesuaian suhu tempat benih dengan suhu kolam sebagai lingkungan barunya. Miringkan wadah dan biarkan benih keluar dengan sendirinya. Metode ini bermanfaat mencegah stres pada benih.
Tebarkan benih ikan lele ke dalam kolam dengan kepadatan 200-400 ekor per meter persegi. Semakin baik kualitas air kolam, semakin tinggi jumlah benih yang bisa ditampung. Hendaknya tinggi air tidak lebih dari 40 cm saat benih ditebar. Hal ini menjaga agar benih ikan bisa menjangkau permukaan air untuk mengambil pakan atau bernapas. Pengisian kolam berikutnya disesuaikan dengan ukuran tubuh ikan sampai mencapai ketinggian air yang ideal.

Menentukan kapasitas kolam
Berikut ini cara menghitung kapasitas kolam untuk budidaya ikan lele secara intensif. Asumsi kedalaman kolam 1-1,5 meter (kedalaman yang dianjurkan). Maka kepadatan tebar bibit lele yang dianjurkan adalah 200-400 ekor per meter persegi. Contoh, untuk kolam berukuran 3 x 4 meter maka jumlah bibit ikannya minimal (3×4) x 200 = 2400 ekor, maksimal (3×4) x 400 = 4800 ekor.
Catatan: kolam tanah kapaistasnya lebih sedikit dari kolam tembok.

Pakan untuk budidaya ikan lele
Pakan merupakan komponen biaya terbesar dalam budidaya ikan lele. Ada banyak sekali merek dan ragam pakan di pasaran. Pakan ikan lele yang baik adalah pakan yang menawarkan Food Convertion Ratio (FCR) lebih kecil dari satu. FCR adalah rasio jumlah pakan berbanding bertumbuhan daging. Semakin kecil nilai FCR, semakin baik kualitas pakan. Untuk mencapai hasil maksimal dengan biaya yang minimal, terapkan pemberian pakan utama dan pakan tambahan secara berimbang. Bila pakan pabrik terasa mahal, silahkan coba membuatsendiri pakan lele alternatif.
a.      Pemberian pakan utama
Pakan yang baik harus mengandung nutrisi yang diperlukan oleh ikan lele. Sebagai ikan karnivora, pakan ikan lele harus banyak mengandung protein hewani. Secara umum kandungan nutrisi yang dibutuhkan ikan lele adalah protein (minimal 30%), lemak (4-16%), karbohidrat (15-20%), vitamin dan mineral. Berbagai pelet yang dijual dipasaran rata-rata sudah dilengkapi dengan keterangan kandungan nutrisi. Tinggal kita pandai-pandai memilih mana yang bisa dipercaya. Ingat, jangan sampai membeli pakan kadaluarsa. Apabila pakan dirasa terlalu mahal kita juga bisa membuat pakan alternatif, silahkan baca membuat sendiri pakan lele alternatif.
Pakan harus diberikan sesuai dengan kebutuhan. Secara umum setiap harinya ikan lele memerlukan pakan 3-6% dari bobot tubuhnya. Cara pemberiannya berdasarkan bobot ikan setiap 10 hari. Misalnya, ikan lele dengan bobot 50 gram memerlukan pakan sebanyak 2,5 gram (5% bobot tubuh) per ekor. Kemudian setiap 10 hari ambil samplingnya, lalu timbang dan sesuaikan lagi jumlah pakan yang diberikan. Dua minggu menjelang panen, persentase pemberian pakan dikurangi menjadi 3% dari bobot tubuh.
Jadwal pemberian pakan sebaiknya disesuaikan dengan nafsu makan ikan. Frekuensinya 4-5 kali sehari. Frekuensi pemberian pakan pada ikan yang masih kecil harus lebih sering. Waktu pemberian pakan bisa pagi, siang, sore dan malam hari. Harus diingat, ikan lele merupakan hewan nokturnal, aktif pada malam hari. Pertimbangkan pemberian makan lebih banyak pada sore dan malam hari. Pakan diberikan dengan ditebar. Si pemberi pakan harus jeli melihat reaksi ikan. Berikan pakan saat ikan lele agresif menyantap pakan dan berhenti apabila ikan sudah terlihat malas untuk menyantapnya.
b.      Pemberian pakan tambahan
Selain pakan utama, bisa dipertimbangkan juga untuk memberi pakan tambahan. Pemberian pakan tambahan sangat menolong menghemat biaya pengeluaran pakan yang memang cukup menguras kantong. Apabila kolam kita dekat dengan pelelangan ikan, bisa dipertimbangkan pemberian ikan rucah segar. Ikan rucah adalah hasil ikan tangkapan dari laut yang tidak layak dikonsumsi manusia karena ukuran atau cacat dalam penangkapannya. Bisa juga dengan membuat belatung dari campuran ampas tahu.
Keong mas dan limbah ayam bisa diberikan dengan pengolahan terlebih dahulu. Pengolahannya bisa dilakukan dengan perebusan. Kemudian pisahkan daging keong mas dengan cangkangnya, lalu dicincang. Untuk ayam bersihkan bulu-bulunya sebelum diumpankan pada lele.
Satu hal yang harus diperhatikan dalam memberikan pakan ikan lele, jangan sampai telat atau kurang. Karena ikan lele mempunyai sifat kanibal, yakni suka memangsa sejenisnya. Apabila kekurangan pakan, ikan-ikan yang lebih besar ukurannya akan memangsa ikan yang lebih kecil.

Pengelolaan air
Hal penting lainnya dalam budidaya ikan lele adalah pengelolaan air kolam. Walaupun ikan lele bisa hidup dalam kondisi air yang buruk, untuk mendapatkan hasil maksimal kualitas dan kuantitas air harus tetap terjaga.
Awasi kualitas air dari timbunan sisa pakan yang tidak habis di dasar kolam. Timbunan tersebut akan menimbulkan gas amonia atau hidrogen sulfida yang dicirikan dengan adanya bau busuk. Oleh karena itu, apabila sudah muncul bau busuk, buang sepertiga air bagian bawah. Kemudian isi lagi dengan air baru. Frekuensi pembuangan air sangat tergantung pada kebiasaan memberikan pakan. Apabila dalam memberikan pakan banyak menimbulkan sisa, pergantian air akan lebih sering dilakukan. Selain itu, apabila air terlihat berkurang karena penguapan atau kebocoran kolam, segera tambahkan.

Pengendalian hama dan penyakit
Hama yang paling umum dalam budidaya ikan lele antara lain hama predator seperti linsang, ular, sero, musang air dan burung. Sedangkan hama yang menjadi pesaing antara lain ikan mujair. Untuk mencegahnya yaitu dengan memasang saringan pada jalan masuk dan keluar air atau memasang pagar di sekeliling kolam.
Penyakit pada budidaya ikan lele bisa datang dari protozoa, bakteri dan virus. Ketiga mikroorganisme ini menyebabkan berbagai penyakit yang mematikan. Beberapa diantaranya adalah bintik putih, kembung perut dan luka di kepala dan ekor. Untuk mencegah timbulnya penyakit infeksi adalah dengan menjaga kualitas air, mengontrol kelebihan pakan, menjaga kebersihan kolam, dan mempertahankan suhu kolam pada kisaran 28oC. Selain penyakit infeksi ikan lele juga bisa terserang penyakit non-infeksi seperti kuning, kekurangan vitamin dan lain-lain. Untuk mengetahui lebih jauh tentang pengendalian penyakit silahkan baca pengendalianhama dan penyakit ikan lele.

Panen budidaya ikan lele
Pemanenan budidaya ikan lele untuk konsumsi dalam negeri biasanya berukuran 9-12 ekor per kg. Untuk mencapai ukuran konsumsi dari benih sebesar 5-7 cm dibutuhkan waktu sekitar 2,5 sampai 3,5 bulan dari awal benih ditebar. Sedangkan untuk ekspor, berat ikan lele bisa mencapai 500 gram per ekor.
Pemanenan harus dilakukan dengan hati-hati. Satu hari (24 jam) sebelum panen, sebaiknya ikan lele tidak diberi pakan agar tidak buang kotoran saat diangkut. Pada saat ikan lele dipanen hendaknya disortasi terlebih dahulu untuk misahkan lele berdasarkan ukurannya. Pemisahan ukuran ini berdampak pada harga. Ikan lele yang sudah disortasi berdasarkan ukuran akan meningkatkan pendapatan bagi peternak.

Sumber : Alamtani

Jenis-Jenis Ikan Lele Budidaya



Ikan lele (Clarias Sp.) merupakan ikan dari genus Clarias yang banyak tersebar di perairan Asia dan Afrika. Di Asia Tenggara sendiri terdapat 20 jenis ikan dari genus Clarias. Beberapa diantaranya dikonsumsi luas masyarakat karena ketersediaannya melimpah, rasanya gurih dan memiliki kandungan protein tinggi. Namun tidak semua jenis ikan lele cocok untuk dikonsumsi dan dibudidayakan. Hanya ikan lele dari jenis-jenis tertentu saja yang bisa dibudidayakan untuk tujuan konsumsi. Jenis-jenis ikan lele tersebut biasanya memiliki sifat unggul seperti pertumbuhan cepat dan tahan terhadap penyakit. Selain itu, ia harus bisa tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang mempunyai kepadatan tinggi dan kondisi air minim.
Ikan lele banyak hidup di perairan air tawar hingga air payau. Beberepa peternak lele di Pantura Jawa berhasil membudidayakan ikan lele di tambak bekas bandeng dan udang. Pada dasarnya, ikan lele hidup secara nocturnal, aktif bergerak di malam hari. Di perairan bebas lele berada di tempat-tempat air tergenang yang cenderung tenang seperti rawa, danau dan daerah sungai yang agak terlindung. Biasanya ikan ini memilih tempat-tempat yang teduh dan membuat lubang-lubang ditanah.
Ikan lele termasuk pada jenis ikan karnivora atau pemakan daging. Di alam, ikan ini menyantap cacing, kutu, larva serangga dan siput air.  Pada keadaan tertentu ia bisa memangsa sesamanya alias kanibal. Biasanya, ikan lele menjadi kanibal karena tak ada makanan lain dan faktor perbedaan ukuran. Lele yang lebih besar akan memangsa kawanan yang lebih kecil.
Ikan lele berkembang biak dengan telur, dan telurnya dibuahi secara eksternal. Musim perkembangbiakan lele secara massal terjadi diawal musim hujan. Dibeberapa kasus masih membiak sepanjang musim hujan. Ikan lele memijah didorong oleh faktor kelimpahan air dan kualitas air, dimana pada musim hujan air cukup banyak dan kualitasnya lebih baik. Lele juga memijah ketika ada rangasangan berupa bau tanah. Tanah yang terjemur kemudian terendam air akan mengeluarkan bau khas yang merangsang ikan memijah. Kondisi ini biasanya terjadi saat hujan tiba.
Di Indonesia, setidaknya terdapat dua spesies ikan lele yang biasa dibudidayakan masyarakat, yaitu spesies Clarias Batrachus dan Clarias Gariepinus. Dari dua spesies ini, ada beberapa ikan lele yang dikategorikan unggul yaitu lele dumbo, lele sangkuriang dan lele phyton. Setiap jenis ikan lele tersebut memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Berikut penjelasan dari jenis-jenis ikan lele budidaya di Indonesia

1.      Ikan Lele Lokal
Ikan lele lokal memiliki nama latin Clarias Batrachus, merupakan jenis ikan lele yang dikenal luas di masyarakat. Sebelum lele dumbo diperkenalkan di Indonesia, para peternak biasa membudidayakan ikan lele jenis ini. Namun saat ini sangat jarang peternak yang membudidayakan jenis lele lokal karena dipandang kurang menguntungkan. Lele lokal memiliki Food Convertion Ratio (FCR) yang tinggi, artinya rasio pakan yang diberikan terhadap berat daging yang dihasilkan tinggi. Perlu lebih dari satu kilogram pakan untuk menghasilkan satu kilogram daging dalam satu siklus budidaya. Selain itu, pertumbuhan lele lokal terbilang sangat lambat. Lele lokal yang berumur satu tahun masih kalah besar dengan lele dumbo berumur 2 bulan.
Terdapat tiga jenis lele lokal yang ada di Indonesia, yaitu lele hitam, lele putih atau belang putih dan lele merah. Diantara ketiga jenis lele itu, lele hitam paling banyak dibudidayakan untuk konsumsi. Sedangkan lele putih dan merah lebih banyak dibudidayakan sebagai ikan hias. Lele lokal memiliki patil yang tajam dan berbisa, terutama pada lele muda. Apabila menyengat, racun yang terdapat pada patil bisa membunuh mangsanya dan bagi manusia bisa membuat bengkak dan demam.

2.      Ikan Lele Dumbo
Ikan lele dumbo pertama kali didatangkan ke Indonesia dari Taiwan pada tahun 1985. Ikan ini menjadi favorit dikalangan peternak karena pertumbuhannya yang cepat dan badannya yang bongsor dibandingkan dengan lele lokal. Sebagai perbandingan, lele dumbo berumur 2 bulan besar badannya bisa dua kali lipat dibanding lele lokal berumur satu tahun. Menurut keterangan eksportirnya, lele dumbo merupakan hasil perkawinan antara Ikan lele asal Taiwan Clarias Fuscus dengan ikan lele asal Afrika Clarias Mosambicus. Namun keterangan lain menyebutkan lele dumbo lebih mirip dengan Clarius Gariepinus yang hidup di perairan Kenya, Afrika. Banyak literatur yang menggolongkan lele dumbo kedalam jenis yang kedua, termasuk artikel ini. Untuk pastinya, perlu penelaahan lebih lanjut dalam mengungkap asal-usul lele dumbo.
Dari sisi fisik, ikan lele dumbo bisa dibedakan dengan lele lokal dari warnanya yang hitam kehijauan. Lele dumbo juga akan bereaksi ketika terkejut atau stres, kulitnya berubah menjadi bercak-bercak hitam atau putih dan kemudian akan berangsur-angsur kembali ke warna awal. Lele dumbo memiliki patil seperti lele lokal, namun patilnya tidak mengeluarkan racun. Lele dumbo juga cocok dipelihara di kolam tanah karena tidak mempunyai kebiasaan membuat lubang. Secara umum, lele dumbo bisa tumbuh lebih cepat, lebih besar dan lebih tahan terhadap penyakit dibanding lele lokal. Namun dari sisi rasa, daging lele dumbo lebih lebih lembek. Sebagian orang menganggap daging ikan lele lokal lebih enak rasanya dibanding lele dumbo.

3.      Ikan lele sangkuriang
Ikan lele sangkuriang resmi dilepas oleh Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2004. Penelitian ikan lele sangkuriang dilakukan oleh Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPAT) Sukabumi sejak tahun 2002. Penelitian ini berawal dari kekhawatiran para peternak dengan menurunnya kualitas lele dumbo yang beredar di masyarakat. Penurunan disebabkan oleh kesalahan dalam menghasilkan benih dan penyilangan yang terjadi secara terus menerus. Hingga akhirnya diupayakan untuk mengembalikan sifat-sifat unggulnya dengan cara persilangan balik (back cross).
Ikan lele sangkuriang dihasilkan dari indukan betina lele dumbo generasi ke-2 atau F2 dan lele dumbo jantan F6. Induk betina merupakan koleksi BBPAT, keturunan F2 dari lele dumbo yang pertama kali didatangkan pada tahun 1985. Sedangkan indukan jantan merupakan keturunan F6 dari keturunan induk betina F2 itu. Penamaan Sangkuriang diambil dari cerita rakyat Jawa Barat tentang seorang anak yang bernama Sangkuriang yang mengawini ibunya sendiri. Sama seperti yang dilakukan BBPAT yang mengawinkan lele jantan F6 dengan induknya sendiri lele betina F2.
Dari hasil perkawinan ini ternyata didapatkan sifat-sifat unggul seperti kemampuan bertelur hingga 40.000-60.000 butir per sekali pemijahan. Jauh berbeda dengan kemampuan bertelur ikan lele lokal yang berkisar 1.000-4.000 butir. Lele Sangkuriang juga lebih tahan terhadap penyakit, dapat dipelihara di air minim, dan kualitas daging yang lebih baik.
Hanya saja kelemahannya, peternak tidak bisa membenihkan lele Sangkuriang dari induk lele Sangkuriang. Apabila ikan lele Sangkuriang dibenihkan lagi, kualitasnya akan turun. Jadi pembenihan lele Sangkuriang harus dilakukan dengan persilangan balik. Saat ini BBPAT sedang menggodok varian baru lele Sangkuriang, yaitu ikan lele Sangkuriang II. Jenis ini merupakan perbaikan dari Sangkuriang I. Ikan lele ini persilangan antara indukan jantan F6 Sangkuriang I dengan indukan betina F2 lele dari Afrika. Indukan lele Afrika dipilih karena ukurannya yang besar, bisa sampai 7 kilogram. Hal ini dipandang bisa memperbaiki sifat genetis lele Sangkuriang. Berdasarkan pemulianya, yaitu BBPAT, ikan lele Sangkuriang II pertumbuhannya lebih besar 10 persen ketimbang Sangkuriang dan bobotnya pun lebih bongsor.
Ikan lele sangkuriang II belum dilepas secara bebas. Pihak BBPAT masih melakukan uji multilokasi di daerah Bogor (Jawa Barat), Gunung Kidul (Yogyakarta), Kepanjen (Jawa Timur) dan  Boyolali (Jawa Tengah). Daerah tersebut memang dikenal sebagai sentra-sentra produksi lele nasional.

4.      Ikan Lele Phyton
Berbeda dengan varietas unggul lainnya yang biasanya ditemukan oleh para peneliti, ikan lele phyton ditemukan oleh para peternak ikan lele di Kabupaten Pandeglang, Banten, pada tahun 2004. Ikan lele phyton merupakan hasil dari silangan induk lele eks Thailand F2 dengan induk lele lokal. Sayangnya tidak diketahui apa spesies dari indukannya dan dari generasi keberapa indukan ikan lele lokalnya berasal. Menurut para penemunya, indukan didapat dari ikan lele lokal yang banyak dibudidayakan masyarakat setempat secara turun temurun. Tapi berdasarkan beberapa literatur, lele phyton berasal dari induk betina lele eks Thailand F2 dengan induk jantan lele dumbo F6.
Ikan lele phyton mempunyai ketahanan terhadap cuaca dingin, tingkat kelangsungan hidup (survival rate) lebih dari 90%. Sementara itu, FCR mencapai 1, artinya satu kilogram pakan menjadi satu kilogram daging dihitung mulai benih ditebar sampai panen dengan siklus pemeliharaan selama 50 hari.
Pada awalnya proyek Ikan lele phyton ini dilakukan untuk menjawab keluhan para peternak lele di Desa Banyumundu, Kabupaten Pandeglang. Mereka sering mengalami kerugian karena tingkat mortalitas yang tinggi dari benih lele yang dibeli dipasaran, seperti lele dumbo. Benih lele tersebut rupanya tidak cocok dibudidayakan di Desa Banyumundu yang beriklim dingin, pada malam hari berkisar 17 derajat celcius. Dengan metode try and error selama lebih dari 2 tahun akhirnya mereka menemukan varietas lele yang kemudian dinamakan Ikan lele phyton. Kualitas lele phyton ini juga diakui oleh Dinas Perikanan Budidaya Provinsi Banten.
Sesuai dengan namanya, lele phyton memiliki bentuk kepala seperti ular phyton. Gerakannya lebih lincah dari lele dumbo dan rasa dagingnya lebih gurih, tidak lembek. Dari segi rasa, lele phyton lebih mendekati lele lokal.

Sumber : Alamtani

Prosedur Perlindungan dan Pengamanan Hutan



Pendahuluan
Hutan merupakan sumber daya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya.  Karena itu, pemanfaatan dan perlindungan hutan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan dan beberapa keputusan Dirjen PHKA dan Dirjen Pengusahaan Hutan.
Meskipun pemanfaatan dan perlindungan telah diatur dalam berbagai aturan perundang-undangan, namun sampai saat ini gangguan terhadap sumber daya hutan terus berlangsung. Sampai dengan tahun 2005, pemerintah telah menetapkan kawasan hutan seluas 126,8 juta ha dengan fungsi konservasi (23,2 juta ha), lindung (32,4 juta ha), produksi terbatas (21,6 juta ha), produksi (35,6 juta ha) dan produksi yang dapat dikonversi (14,0 juta ha), (Dephut, 2006a).  Sumardi dan Widyastuti (2004) menuliskan bahwa dari angka resmi luasan kawasan hutan, luas hutan yang sebenarnya ada hanya sekitar 75% dari luas kawasan hutan. Hutan banyak mengalami kerusakan sehingga luasnya pun mengalami penyusutan dengan laju yang sangat tinggi (Dephut, 2006b).
Laju kerusakan hutan selama 12 tahun  (periode 1985 - 1997) untuk pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi mencapai rata-rata 1,6 juta ha per tahun, bahkan pada periode 1997 – 2000 deforestasi di lima pulau besar mencapai rata-rata sebesar 2,83 juta ha per tahun, kerusakan ini termasuk kerusakan hutan akibat kebakaran hutan pada tahun 1997 – 1998 seluas 9,7 juta ha. Hal ini telah menempatkan kegiatan rehabilitasi dan konservasi kawasan hutan sebagai sasaran strategis pembangunan kehutanan kedepan (Dephut, 2006b).
Dalam rangka mempertahankan ekosistem dan keanekaragaman hayatinya, sampai dengan tahun 2006 Pemerintah telah menetapkan kawasan konservasi daratan dan perairan yaitu : 50 unit Taman Nasional (TN), 124 unit Taman Wisata Alam (TWA), 21 unit Taman Hutan Raya (TAHURA), 14 unit Taman Buru (TB), 249 unit Cagar Alam (CA), dan 77 unit Suaka Margasatwa (SM) (DEPHUT, 2006a).  Untuk mempertahankan fungsi dan keberadaan kawasan hutan tersebut perlu mengetahui prosedur perlindungan dan pengamanan hutan.

Perlindungan Hutan
Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan (Dephut, 2004).
Prinsip yang penting dalam kegiatan perlindungan hutan adalah pencegahan awal perkembangan penyebab kerusakan jauh lebih efektif daripada memusnahkan perusak setelah menyerang.  Dalam tahun-tahun terakhir ini anggapan bahwa pencegahan merupakan sistem yang lebih penting dalam perlindungan hutan telah diterima secara meluas.  Tetapi hal ini masih tetap diragukan apakah perluasan ide ini melalui sistem silvikultur dan forest management dalam jangka waktu panjang dianggap sudah cukup menguntungkan.  Pencegahan melalui aplikasi manajemen dan silvikultur  memerlukan waktu panjang, tetapi hasilnya akan lebih abadi dan lebih murah dibandingkan metode pemberantasan secara langsung (Mappatoba dan Nuraeni, 2009).
Perlindungan hutan tidak hanya menghadapi bagaimana mengatasi kerusakan pada saat terjadi melainkan lebih diarahkan untuk mengenali dan mengevaluasi semua sumber kerusakan yang potensil, agar kerusakan yang besar dapat dihindari, sehingga kerusakan hutan dapat ditekan seminimal mungkin dari penyebab-penyebab potensil  (Sumardi dan Widyastuti , 2004).
Saat ini, masalah perlindungan dan pengamanan hutan adalah masalah yang cukup kompleks serta dinamis.  Dengan adanya perkembangan diberbagai bidang dan perubahan dinamika di lapangan, maka terjadi pula perkembangan permasalahan perlindungan dan pengamanan hutan, mulai dari perladangan berpindah dan perladangan liar/perambahan yang dilakukan oleh warga masyarakat yang sederhana, sampai pencurian kayu dan penyelundupan satwa yang didalangi oleh bandit berdasi (Mappatoba dan Nuraeni , 2009).
Fenomena perlindungan hutan ini sebenarnya potensial menjadi sumber kerugian bagi kehutanan, hanya saja selama ini sangat langkah atau tidak ada data yang mampu menunjukkan besarnya angka kerugian tersebut.  Pencurian hasil hutan yang selama ini mampu dikemukakan data-data kerugiannya secara kuantitatif akhirnya menjadi kunci pengambilan keputusan di dalam melaksanakan kebijaksanaan di bidang perlindungan hutan, padahal pencurian ini sebenarnya adalah permasalahan sosial ekonomi dan bukan permasalahan teknis perlindungan hutan (Achmad Sulthoni, 2002).
Dalam hubungannya dengan tindakan pengelolaan, pencegahan dalam konsep perlindungan hutan didekati melalui  :
1)     Pengambilan keputusan terhadap langkah atau tindakan untuk mencegah agar penyebab kerusakan tidak berkembang dan tidak menimbulkan kerusakan yang serius.
2)     Pengembangan suatu bentuk pengelolaan hutan yang ”hati-hati” dan berwawasan masa depan.
(Sumardi dan Widyastuti , 2004).
Jadi, asas perlindungan hutan mengutamakan pencegahan awal terjadinya atau perkembangan suatu kerusakan hutan melalui perencanaan silvikultur dan pengelolaan yang baik  Hal ini akan lebih efektif daripada pengendalian langsung setelah kerusakan yang besar terjadi.  Dalam prinsip perlindungan hutan, tindakan proaktif dikedepankankan dan tindakan reaktif sedapat mungkin dihindari (Sumardi dan Widyastuti , 2004).

Pengamanan Hutan
Pengamanan hutan adalah segala kegiatan, upaya dan usaha yang dilaksanakan oleh aparat kehutanan dan dukungan instansi terkait dalam rangka mengamankan hutan dan hasil hutan secara terencana, terus menerus dengan prinsip berdaya guna dan berhasil guna (Dephut, 1995).
Secara Fungsional Pengamanan Hutan dilaksanakan oleh Satuan Tugas (Satgas) Pengamanan Hutan yang berkedudukan di Dinas-dinas Propinsi, Kabupaten/Kota yang menangani bidang Kehutanan, dan UPT Departemen Kehutanan (Dephutbun, 1998).. Sedangkan Pengamanan Hutan di areal hutan yang telah dibebani Hak dilaksanakan oleh Satuan Pengamanan Hutan pemegang hak tersebut, yang dikenal dengan sebutan Satpam Pengusahaan Hutan (Dephut, 1995).
(Dephut, 1995),  Prosedur pelaksanaan kegiatan pengamanan hutan secara fungsional adalah :
1.      Perencanaan
Perencanaan dalam bentuk program kerja operasional dibuat secara berjenjang.  Perencanaan kegiatan berisi perkiraan hal-hal yang dibutuhkan seperti personil, logistik/transportasi, serta penentuan cara bertindak (Penyuluhan, preemtif, preventif dan refresif).  
2.      Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan pengamanan hutan meliputi :
a.    Pelaksanaan kegiatan pengamanan hutan fungsional dalam bentuk :
1)    Kegiatan deteksi yaitu membuat perkiraan keadaan atas kemungkinan terjadinya gangguan terhadap hutan dan hasil hutan dengan dilengkapi data pelaku pelanggar hukum, tokoh masyarakat disekitar hutan, ploting peta kerawanan dan penggalangan yang berencana dan terus menerus.
2)    Kegiatan kesamaptaan, yaitu pelaksanaan tugas yang bersifat rutin dan selektif, dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan atas hutan dan hasil hutan.  Kegiatan Kesamaptaan terdiri dari :
-      Patroli berlanjut, rutin dan selektif.
-      Penjagaan di tempat-tempat yang telah ditentukan.
-      Pengawalan hal-hal tertentu.
-      Pemeriksaan surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah sekitar hutan (kring)
3)    Kegiatan Bimbingan Masyarakat yang dilaksanakan dalam bentuk :
-      Penyuluhan kepada masyarakat.
-      Program Bina Desa, seperti perbaikan pengairan, bantuan ternak, bantuan bibit pohon, sarana ibadah, tumpang sari dan sebagainya.
4)    Kegiatan refresif atau penegakan hukum dengan mengamankan tempat kejadian (tersangka dan barang bukti), membuat dan menandatangani laporan kejadian, dan selanjutnya segera melaporkan/menyerahkan masalah tersebut kepada Penyidik PNS kehutanan atau Penyidik Polri.
b.      Pelaksanaan kegiatan operasi pengamanan hutan dalam bentuk :
1)    Operasi Rutin
Operasi rutin adalah kegiatan satuan tugas wilayah dan atau satuan tugas resort Polisi Kehutanan yang terus menerus dilaksanakan dengan tujuan :
-      Mencegah timbulnya gangguan terhadap hutan dan hasil hutan
-      Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat tentang perlunya menjaga kelestarian hutan.
-      Pendataan atau pembuatan peta kerawanan hutan.
-      Mengupayakan penyelesaian kasus-kasus bidang kehutanan.
-      Sifat kegiatan ini adalah : dilaksanakan secara terus menerus sesuai jadwal dan secara selektif, dibuatkan jurnal kegiatan, setiap kasus-kasus kecil diselesaikan sampai tuntas, lebih menonjolkan fungsi penyuluhan dan tindakan preventif, serta melaporkan hasil pelaksanaan tugas secara periodik kepada pimpinan satu tingkat diatasnya.
2)    Operasi Gabungan
Pelaksanaan operasi gabungan didahului dengan persiapan :
a.   Pulahjianta pelaku, jaringan kejadian, modus operandi, otak atau penggerak, tempat pengumpul dan penadah.
b.   Penyusunan personil dan pembagian tugas.
c.   Dukungan logistik / dana dan formulir isian hasil operasi.
d.   Operasi gabungan dilaksanakan hanya pada tingkat Instansi Kehutanan Dati II
c.      Gelar Operasional
Gelar operasional rutin diadakan setiap bulan pada tingkat Instansi Kehutanan Dati II dan triwulan pada tingkat  Instansi Kehutanan Dati I, dengan maksud :
1)     Saling tukar menukar informasi.
2)    Mengadakan gelar perkara untuk kasus pidana kehutanan.
3)    Paparan jurnal kejadian pelanggaran
3.      Pengawasan dan pengendalian
Pengawasan dan pengendalian dimaksudkan dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi, wewenang dan penerapan peraturan perundang-undangan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
4.    Mekanisme Koordinasi
5.    Penyelesaian Administrasi

Strategi Perlindungan dan Pengamanan Hutan
Evans (1982) dalam Sumardi dan Widyastuti (2004)  merumuskan asas strategi perlindungan hutan yang dapat digunakan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari, yaitu :
1)     Memahami interaksi hutan dengan agens perusak sehingga :
a.   Dapat mengenali faktor-faktor yang menyebabkan masalah dalam perlindungan hutan.
b.   Dapat mengenali penyebab kerusakan primer.
2)     Dapat menganalisis dan mengambil keputusan secara meneyeluruh dan tidak hanya terbatas pada penyebab kerusakan yang paling serius saja.
3)     Selalu melihat perlindungan hutan sebagai tindakan yang tidak terpisah dari silvikultur.
4)     Sadar bahwa perlindungan hutan semakin penting dan pendekatannya tidak hanya terbatas pada bidang tanaman tapi termasuk hasil hutannya.

Strategi perlindungan hutan selain menjamin kelestarian pengelolaan juga dapat menjamin pengelolaan hutan beresiko rendah. Pengembangan strategi perlindungan hutan seringkali dihadapkan pada banyak kendala diantaranya :
1)     Nilai hutan pada umumnya lebih rendah dibanding pertanaman jenis perkebunan atau pertanian.
Secara ekonomi, perhitungan hasil hutan per hektar per tahun masih di bawah sektor perkebunan dan pertanian.  Saat terjadi kerusakan, tindakan yang akan dilakukan harus mempertimbangkan nilai ekonominya.
2)    Luasan yang besar dan bervariasi.
Luasnya hamparan dan variasi kondisi hutan merupakan sumber variasi faktor-faktor dominan yang berperanan dalam perkembangan hutan.  Perbedaan yang mencolok dapat menimbulkan konsekuensi perbedaan pilihan perlakuan perlindungan hutan yang dilaksanakan.
3)     Lokasi dan persebaran tidak mudah terjangkau.
Lokasi dan persebaran hutan seringkali menjadi kendala, terutama bila kawasan hutan beada pada daerah dengan konfigurasi tofografi yang berbukit curam.  Bila perlakuan perlindungan hutan dilaksanakan secara langsung, misalnya pemadaman kebakaran, maka lokasi yang sulit dijangkau akan merupakan faktor kendala yang sangat berarti.
4)     Umurnya panjang
Hutan terbentuk dan berkembang dalam kurung waktu yang lama dalam proses yang disebut suksesi.  Lama waktu pembentukan dan perkembangan hutan sangat bervariasi tergantung dari tipe hutan.  Hutan alam dikenal terbentuk dan berkembang dalam kurung waktu yang sangat lam, sementara hutan tanaman dapat berotasi dalam waktu relatif pendek misalnya 5 – 15 tahun.

Kesimpulan
Perlindungan hutan merupakan prosedur yang sesuai dan cocok dengan sistem perencanaan pengelolaan hutan.  Ini berarti sumber-sumber kerusakan potensial sedapat mungkin dikenali dan dievaluasi sebelum kerusakan besar terjadi. Dengan asas seperti ini, penyebab kerusakan yang mengancam hutan dapat ditekan pada waktunya dengan hasil yang efektif.  Karena terkadang penyebab kerusakan hutan memicu penyebab-penyebab kerusakan yang lain, sehingga perlu mengetahui penyebab primernya dan menyusun rencana tindakan perlindungan untuk menghindari atau menekan kerugian akiban kerusakan tersebut