Jumat, 27 Desember 2013

Prosedur Perlindungan dan Pengamanan Hutan



Pendahuluan
Hutan merupakan sumber daya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya.  Karena itu, pemanfaatan dan perlindungan hutan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan dan beberapa keputusan Dirjen PHKA dan Dirjen Pengusahaan Hutan.
Meskipun pemanfaatan dan perlindungan telah diatur dalam berbagai aturan perundang-undangan, namun sampai saat ini gangguan terhadap sumber daya hutan terus berlangsung. Sampai dengan tahun 2005, pemerintah telah menetapkan kawasan hutan seluas 126,8 juta ha dengan fungsi konservasi (23,2 juta ha), lindung (32,4 juta ha), produksi terbatas (21,6 juta ha), produksi (35,6 juta ha) dan produksi yang dapat dikonversi (14,0 juta ha), (Dephut, 2006a).  Sumardi dan Widyastuti (2004) menuliskan bahwa dari angka resmi luasan kawasan hutan, luas hutan yang sebenarnya ada hanya sekitar 75% dari luas kawasan hutan. Hutan banyak mengalami kerusakan sehingga luasnya pun mengalami penyusutan dengan laju yang sangat tinggi (Dephut, 2006b).
Laju kerusakan hutan selama 12 tahun  (periode 1985 - 1997) untuk pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi mencapai rata-rata 1,6 juta ha per tahun, bahkan pada periode 1997 – 2000 deforestasi di lima pulau besar mencapai rata-rata sebesar 2,83 juta ha per tahun, kerusakan ini termasuk kerusakan hutan akibat kebakaran hutan pada tahun 1997 – 1998 seluas 9,7 juta ha. Hal ini telah menempatkan kegiatan rehabilitasi dan konservasi kawasan hutan sebagai sasaran strategis pembangunan kehutanan kedepan (Dephut, 2006b).
Dalam rangka mempertahankan ekosistem dan keanekaragaman hayatinya, sampai dengan tahun 2006 Pemerintah telah menetapkan kawasan konservasi daratan dan perairan yaitu : 50 unit Taman Nasional (TN), 124 unit Taman Wisata Alam (TWA), 21 unit Taman Hutan Raya (TAHURA), 14 unit Taman Buru (TB), 249 unit Cagar Alam (CA), dan 77 unit Suaka Margasatwa (SM) (DEPHUT, 2006a).  Untuk mempertahankan fungsi dan keberadaan kawasan hutan tersebut perlu mengetahui prosedur perlindungan dan pengamanan hutan.

Perlindungan Hutan
Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan (Dephut, 2004).
Prinsip yang penting dalam kegiatan perlindungan hutan adalah pencegahan awal perkembangan penyebab kerusakan jauh lebih efektif daripada memusnahkan perusak setelah menyerang.  Dalam tahun-tahun terakhir ini anggapan bahwa pencegahan merupakan sistem yang lebih penting dalam perlindungan hutan telah diterima secara meluas.  Tetapi hal ini masih tetap diragukan apakah perluasan ide ini melalui sistem silvikultur dan forest management dalam jangka waktu panjang dianggap sudah cukup menguntungkan.  Pencegahan melalui aplikasi manajemen dan silvikultur  memerlukan waktu panjang, tetapi hasilnya akan lebih abadi dan lebih murah dibandingkan metode pemberantasan secara langsung (Mappatoba dan Nuraeni, 2009).
Perlindungan hutan tidak hanya menghadapi bagaimana mengatasi kerusakan pada saat terjadi melainkan lebih diarahkan untuk mengenali dan mengevaluasi semua sumber kerusakan yang potensil, agar kerusakan yang besar dapat dihindari, sehingga kerusakan hutan dapat ditekan seminimal mungkin dari penyebab-penyebab potensil  (Sumardi dan Widyastuti , 2004).
Saat ini, masalah perlindungan dan pengamanan hutan adalah masalah yang cukup kompleks serta dinamis.  Dengan adanya perkembangan diberbagai bidang dan perubahan dinamika di lapangan, maka terjadi pula perkembangan permasalahan perlindungan dan pengamanan hutan, mulai dari perladangan berpindah dan perladangan liar/perambahan yang dilakukan oleh warga masyarakat yang sederhana, sampai pencurian kayu dan penyelundupan satwa yang didalangi oleh bandit berdasi (Mappatoba dan Nuraeni , 2009).
Fenomena perlindungan hutan ini sebenarnya potensial menjadi sumber kerugian bagi kehutanan, hanya saja selama ini sangat langkah atau tidak ada data yang mampu menunjukkan besarnya angka kerugian tersebut.  Pencurian hasil hutan yang selama ini mampu dikemukakan data-data kerugiannya secara kuantitatif akhirnya menjadi kunci pengambilan keputusan di dalam melaksanakan kebijaksanaan di bidang perlindungan hutan, padahal pencurian ini sebenarnya adalah permasalahan sosial ekonomi dan bukan permasalahan teknis perlindungan hutan (Achmad Sulthoni, 2002).
Dalam hubungannya dengan tindakan pengelolaan, pencegahan dalam konsep perlindungan hutan didekati melalui  :
1)     Pengambilan keputusan terhadap langkah atau tindakan untuk mencegah agar penyebab kerusakan tidak berkembang dan tidak menimbulkan kerusakan yang serius.
2)     Pengembangan suatu bentuk pengelolaan hutan yang ”hati-hati” dan berwawasan masa depan.
(Sumardi dan Widyastuti , 2004).
Jadi, asas perlindungan hutan mengutamakan pencegahan awal terjadinya atau perkembangan suatu kerusakan hutan melalui perencanaan silvikultur dan pengelolaan yang baik  Hal ini akan lebih efektif daripada pengendalian langsung setelah kerusakan yang besar terjadi.  Dalam prinsip perlindungan hutan, tindakan proaktif dikedepankankan dan tindakan reaktif sedapat mungkin dihindari (Sumardi dan Widyastuti , 2004).

Pengamanan Hutan
Pengamanan hutan adalah segala kegiatan, upaya dan usaha yang dilaksanakan oleh aparat kehutanan dan dukungan instansi terkait dalam rangka mengamankan hutan dan hasil hutan secara terencana, terus menerus dengan prinsip berdaya guna dan berhasil guna (Dephut, 1995).
Secara Fungsional Pengamanan Hutan dilaksanakan oleh Satuan Tugas (Satgas) Pengamanan Hutan yang berkedudukan di Dinas-dinas Propinsi, Kabupaten/Kota yang menangani bidang Kehutanan, dan UPT Departemen Kehutanan (Dephutbun, 1998).. Sedangkan Pengamanan Hutan di areal hutan yang telah dibebani Hak dilaksanakan oleh Satuan Pengamanan Hutan pemegang hak tersebut, yang dikenal dengan sebutan Satpam Pengusahaan Hutan (Dephut, 1995).
(Dephut, 1995),  Prosedur pelaksanaan kegiatan pengamanan hutan secara fungsional adalah :
1.      Perencanaan
Perencanaan dalam bentuk program kerja operasional dibuat secara berjenjang.  Perencanaan kegiatan berisi perkiraan hal-hal yang dibutuhkan seperti personil, logistik/transportasi, serta penentuan cara bertindak (Penyuluhan, preemtif, preventif dan refresif).  
2.      Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan pengamanan hutan meliputi :
a.    Pelaksanaan kegiatan pengamanan hutan fungsional dalam bentuk :
1)    Kegiatan deteksi yaitu membuat perkiraan keadaan atas kemungkinan terjadinya gangguan terhadap hutan dan hasil hutan dengan dilengkapi data pelaku pelanggar hukum, tokoh masyarakat disekitar hutan, ploting peta kerawanan dan penggalangan yang berencana dan terus menerus.
2)    Kegiatan kesamaptaan, yaitu pelaksanaan tugas yang bersifat rutin dan selektif, dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan atas hutan dan hasil hutan.  Kegiatan Kesamaptaan terdiri dari :
-      Patroli berlanjut, rutin dan selektif.
-      Penjagaan di tempat-tempat yang telah ditentukan.
-      Pengawalan hal-hal tertentu.
-      Pemeriksaan surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah sekitar hutan (kring)
3)    Kegiatan Bimbingan Masyarakat yang dilaksanakan dalam bentuk :
-      Penyuluhan kepada masyarakat.
-      Program Bina Desa, seperti perbaikan pengairan, bantuan ternak, bantuan bibit pohon, sarana ibadah, tumpang sari dan sebagainya.
4)    Kegiatan refresif atau penegakan hukum dengan mengamankan tempat kejadian (tersangka dan barang bukti), membuat dan menandatangani laporan kejadian, dan selanjutnya segera melaporkan/menyerahkan masalah tersebut kepada Penyidik PNS kehutanan atau Penyidik Polri.
b.      Pelaksanaan kegiatan operasi pengamanan hutan dalam bentuk :
1)    Operasi Rutin
Operasi rutin adalah kegiatan satuan tugas wilayah dan atau satuan tugas resort Polisi Kehutanan yang terus menerus dilaksanakan dengan tujuan :
-      Mencegah timbulnya gangguan terhadap hutan dan hasil hutan
-      Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat tentang perlunya menjaga kelestarian hutan.
-      Pendataan atau pembuatan peta kerawanan hutan.
-      Mengupayakan penyelesaian kasus-kasus bidang kehutanan.
-      Sifat kegiatan ini adalah : dilaksanakan secara terus menerus sesuai jadwal dan secara selektif, dibuatkan jurnal kegiatan, setiap kasus-kasus kecil diselesaikan sampai tuntas, lebih menonjolkan fungsi penyuluhan dan tindakan preventif, serta melaporkan hasil pelaksanaan tugas secara periodik kepada pimpinan satu tingkat diatasnya.
2)    Operasi Gabungan
Pelaksanaan operasi gabungan didahului dengan persiapan :
a.   Pulahjianta pelaku, jaringan kejadian, modus operandi, otak atau penggerak, tempat pengumpul dan penadah.
b.   Penyusunan personil dan pembagian tugas.
c.   Dukungan logistik / dana dan formulir isian hasil operasi.
d.   Operasi gabungan dilaksanakan hanya pada tingkat Instansi Kehutanan Dati II
c.      Gelar Operasional
Gelar operasional rutin diadakan setiap bulan pada tingkat Instansi Kehutanan Dati II dan triwulan pada tingkat  Instansi Kehutanan Dati I, dengan maksud :
1)     Saling tukar menukar informasi.
2)    Mengadakan gelar perkara untuk kasus pidana kehutanan.
3)    Paparan jurnal kejadian pelanggaran
3.      Pengawasan dan pengendalian
Pengawasan dan pengendalian dimaksudkan dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi, wewenang dan penerapan peraturan perundang-undangan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
4.    Mekanisme Koordinasi
5.    Penyelesaian Administrasi

Strategi Perlindungan dan Pengamanan Hutan
Evans (1982) dalam Sumardi dan Widyastuti (2004)  merumuskan asas strategi perlindungan hutan yang dapat digunakan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari, yaitu :
1)     Memahami interaksi hutan dengan agens perusak sehingga :
a.   Dapat mengenali faktor-faktor yang menyebabkan masalah dalam perlindungan hutan.
b.   Dapat mengenali penyebab kerusakan primer.
2)     Dapat menganalisis dan mengambil keputusan secara meneyeluruh dan tidak hanya terbatas pada penyebab kerusakan yang paling serius saja.
3)     Selalu melihat perlindungan hutan sebagai tindakan yang tidak terpisah dari silvikultur.
4)     Sadar bahwa perlindungan hutan semakin penting dan pendekatannya tidak hanya terbatas pada bidang tanaman tapi termasuk hasil hutannya.

Strategi perlindungan hutan selain menjamin kelestarian pengelolaan juga dapat menjamin pengelolaan hutan beresiko rendah. Pengembangan strategi perlindungan hutan seringkali dihadapkan pada banyak kendala diantaranya :
1)     Nilai hutan pada umumnya lebih rendah dibanding pertanaman jenis perkebunan atau pertanian.
Secara ekonomi, perhitungan hasil hutan per hektar per tahun masih di bawah sektor perkebunan dan pertanian.  Saat terjadi kerusakan, tindakan yang akan dilakukan harus mempertimbangkan nilai ekonominya.
2)    Luasan yang besar dan bervariasi.
Luasnya hamparan dan variasi kondisi hutan merupakan sumber variasi faktor-faktor dominan yang berperanan dalam perkembangan hutan.  Perbedaan yang mencolok dapat menimbulkan konsekuensi perbedaan pilihan perlakuan perlindungan hutan yang dilaksanakan.
3)     Lokasi dan persebaran tidak mudah terjangkau.
Lokasi dan persebaran hutan seringkali menjadi kendala, terutama bila kawasan hutan beada pada daerah dengan konfigurasi tofografi yang berbukit curam.  Bila perlakuan perlindungan hutan dilaksanakan secara langsung, misalnya pemadaman kebakaran, maka lokasi yang sulit dijangkau akan merupakan faktor kendala yang sangat berarti.
4)     Umurnya panjang
Hutan terbentuk dan berkembang dalam kurung waktu yang lama dalam proses yang disebut suksesi.  Lama waktu pembentukan dan perkembangan hutan sangat bervariasi tergantung dari tipe hutan.  Hutan alam dikenal terbentuk dan berkembang dalam kurung waktu yang sangat lam, sementara hutan tanaman dapat berotasi dalam waktu relatif pendek misalnya 5 – 15 tahun.

Kesimpulan
Perlindungan hutan merupakan prosedur yang sesuai dan cocok dengan sistem perencanaan pengelolaan hutan.  Ini berarti sumber-sumber kerusakan potensial sedapat mungkin dikenali dan dievaluasi sebelum kerusakan besar terjadi. Dengan asas seperti ini, penyebab kerusakan yang mengancam hutan dapat ditekan pada waktunya dengan hasil yang efektif.  Karena terkadang penyebab kerusakan hutan memicu penyebab-penyebab kerusakan yang lain, sehingga perlu mengetahui penyebab primernya dan menyusun rencana tindakan perlindungan untuk menghindari atau menekan kerugian akiban kerusakan tersebut
Sumber : Sudirman S, SP



3 komentar:

coretan rimbawan ur mengatakan...

mntapp...

Unknown mengatakan...

Untuk jumlah satuan pengamanan yg melakukan perlindungan hutan, apakah ada nominal yang ditetapkan? contohnya untuk 1000 ha harus dijaga oleh berapa personil?

Dadank.hz mengatakan...

pas banget

Posting Komentar